QRIS Jadi Ancaman Ekonomi Amerika: Digitalisasi Pembayaran dan Tantangan Global

https://production-kontak-dot-link.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/kontaklink-pro/2juvIrhIx6E56jXSIBdStfqFD1C/attachment/202504/25-gvdr4i.png

Sejak diluncurkan secara nasional pada Januari 2020 oleh Bank Indonesia, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) menjadi salah satu bentuk transformasi digital dalam sistem pembayaran nasional. Dengan QRIS, masyarakat Indonesia dapat melakukan transaksi non-tunai hanya dengan memindai satu kode QR yang terintegrasi antarpenyedia jasa keuangan, termasuk dompet digital, bank, dan fintech.


Namun, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, muncul narasi menarik yang mulai dibicarakan oleh pengamat ekonomi global:apakah sistem pembayaran digital lokal seperti QRIS bisa menjadi ancaman bagi dominasi ekonomi Amerika Serikat?


Mengapa QRIS Dianggap Ancaman?

Amerika Serikat, melalui dominasi dolar dan perusahaan keuangan global seperti Visa, Mastercard, dan PayPal, memiliki pengaruh besar dalam sistem keuangan internasional. Sebagian besar transaksi lintas negara masih menggunakan dolar AS sebagai mata uang utama. Namun, kemunculan sistem pembayaran lokal yang semakin kuat dan merdeka dari infrastruktur Barat mulai membuat kekhawatiran tersendiri.

QRIS, yang dirancang oleh Bank Indonesia untuk memperkuat kedaulatan sistem keuangan nasional, telah terintegrasi dengan sistem pembayaran lintas negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Malaysia. Ini menjadi langkah awal menuju pengurangan ketergantungan terhadap sistem pembayaran berbasis dolar. Ketika negara-negara berkembang mulai membangun sistem pembayaran digital sendiri dan saling terhubung tanpa perantara Barat, maka potensi ‘de-dolarisasi’ bisa terjadi secara perlahan tapi pasti.

Dukungan Pemerintah dan Adopsi Massal

Menurut data Bank Indonesia, hingga akhir 2023, lebih dari 30 juta merchant telah menggunakan QRIS, mencerminkan percepatan adopsi digital dalam ekosistem ekonomi mikro dan makro Indonesia. Pemerintah juga mendukung sistem ini melalui berbagai kebijakan inklusi keuangan digital.

Langkah Indonesia ini sejalan dengan strategi negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang mulai mencari alternatif dari sistem SWIFT dan dolar AS. Meskipun QRIS belum masuk skala global seperti yuan digital dari Tiongkok, arah kebijakannya menunjukkan potensi besar untuk memperkuat ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada infrastruktur keuangan AS.

Kesimpulan

QRIS bukan hanya alat transaksi digital, tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih mandiri. Meski belum menjadi “ancaman langsung” bagi ekonomi Amerika, QRIS dan sistem serupa dari negara-negara lain merupakan simbol perubahan arah ekonomi global menuju multipolaritas. Amerika tidak lagi menjadi satu-satunya penguasa sistem pembayaran dunia dan inilah awal dari tantangan baru dalam peta ekonomi internasional.